Iklim sekolah
didefinisikan orang secara beragam dan dalam penggunaanya kerapkali
dipertukarkan dengan istilah budaya sekolah. Iklim sekolah sering dianalogikan
dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan
sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan
melalui interaksi di dalam maupun di luar kelas. Halpin dan Croft (1963)
menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah sesuatu yang bersifat intangible tetapi
memiliki konsekuensi terhadap organisasi.
Tagiuri (1968)
mengetengahkan tentang taksonomi iklim sekolah yang mencakup empat dimensi,
yaitu: (1) ekologi; aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan sekolah, ruang
perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK dan sejenisnya (2) milieu:
karateristik individu di sekolah pada umumnya, seperti: moral kerja guru, latar
belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya: (3) sistem sosial: struktur
formal maupun informal atau berbagai peraturan untuk mengendalikan interaksi
individu dan kelompok di sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru,
partispasi staf dalam pengenbilan keputusan, keterlibatan siswa dalam
pengambilan keputusan, kolegialitas, hubungan guru-siswa; dan (4) budaya:
sistem nilai dan keyakinan, seperti: norma pergaulan siswa, ekspektasi
keberhasilan, disiplin sekolah.
Berdasarkan berbagai
studi yang dilakukan, iklim sekolah telah terbukti memberikan pengaruh yang
kuat terhadap pencapaian hasil-hasil akademik siswa. Hasil tinjauan ulang yang
dilakukan Anderson (1982) terhadap 40 studi tentang iklim sekolah sepanjang
tahun 1964 sampai dengan 1980, hampir lebih dari setengahnya menunjukkan bahwa
komitmen guru yang tinggi, norma hubungan kelompok sebaya yang positif, kerja
sama team, ekspektasi yang tinggi dari guru dan adminstrator, konsistensi dan
pengaturan tentang hukuman dan ganjaran, konsensus tentang kurikulum dan
pembelajaran, serta kejelasan tujuan dan sasaran telah memberikan sumbangan
yang berharga terhadap pencapaian hasil akademik siswa.
Hubungan sosial antara
siswa dengan guru yang mutualistik merupakan unsur penting dalam kehidupan
sekolah. Guru yang memiliki interes, peduli, adil, demokratis, dan respek
terhadap siswanya ternyata telah mampu mengurangi tingkat drop out
siswa, tinggal kelas, dan perilaku salah suai di kalangan siswa (Farrell, 1990;
Fine, 1989; Wehlage & Rutter, 1986; Bryk & Driscoll, 1988). Studi yang
dilakukan oleh Wentzel (1997) mengungkapkan bahwa iklim sekolah memiliki
hubungan yang positif dengan motivasi belajar siswa. Sementara itu, studi
longitudional yang dilakukan oleh Roeser & Eccles (1998) membuktikan bahwa
guru yang bersikap adil dan jujur memiliki dampak ke depannya bagi penguasaan
kompetensi akademik dan nilai-nilai (values) akademik. Studi yang
dilakukan Stockard dan Mayberry (1992) menyimpulkan bahwa iklim sekolah, yang
mencakup : ekspektasi prestasi siswa yang tinggi, lingkungan sekolah yang
teratur, moral yang tinggi, perlakuan terhadap siswa yang positif, penyertaan
aktivitas siswa yang tinggi dan hubungan sosial yang positif ternyata memiliki
korelasi yang kuat dengan hasil-hasil akademik siswa.
Selain berdampak positif
pada pencapaian hasil akademik siswa, iklim sekolah pun memiliki kontribusi
positif terhadap pencapaian hasil non akademik, seperti pembentukan konsep
diri, keyakinan diri, dan aspirasi (Brookover et al., 1979; McDill &
Rigsby, 1973; Mitchell, 1968; Anderson, 1982). Studi yang dilakukan Battistich
dan Hom (1997) mengungkapkan bahwa adanya perasaan akan komunitas (sense of
community) dapat mengurangi secara signifikan terhadap munculnya perilaku
bermasalah seperti, keterlibatan narkoba, kenakalan remaja dan tindak
kekerasan. Iklim sekolah yang positif juga dapat menurunkan tingkat depresi
(Roeser & Eccles 1998). Studi yang dilakukan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1983 yang menguji tentang kesehatan
perilaku, gaya hidup dan konteks sosial pada kalangan anak muda di 28 negara
menunjukkan bahwa keterlibatan peran dalam pengambilan keputusan di sekolah,
perasaan memperoleh dukungan dari guru dan siswa lainnya ternyata berkorelasi
dengan semakin berkurangnya kebiasaan merokok, tingginya aktivitas fisik, serta
tingkat kesehatan dan kualitas hidup yang baik (Currie et al. 2000). Iklim
sekolah juga berpengaruh terhadap pembentukan nilai-nilai kewarganegaraan (civic
values). Sebagai contoh: hubungan guru-siswa yang saling menghormati,
adanya kebebasan untuk menyatakan tidak setuju, mau mendengarkan siswa meski
dalam perspektif yang berbeda telah memberikan dampak terhadap tingkat
kekritisan siswa tentang berbagai isu yang terkait dengan kewarganegaraan
(Newmann, 1990). Selain itu, siswa juga lebih toleran terhadap perbedaan
(Ehman, 1980) dan lebih mengenal terhadap berbagai hubungan internasional
(Torney-Purta & Lansdale, 1986).