Laman

Jumat, 13 Januari 2012

IKLIM SEKOLAH KAITANNYA DENGAN HASIL AKADEMIK DAN NON AKADEMIK


Iklim sekolah didefinisikan orang secara beragam dan dalam penggunaanya kerapkali dipertukarkan dengan istilah budaya sekolah. Iklim sekolah sering dianalogikan dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan melalui interaksi di dalam maupun di luar kelas. Halpin dan Croft (1963) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah sesuatu yang bersifat intangible tetapi memiliki konsekuensi terhadap organisasi.
Tagiuri (1968) mengetengahkan tentang taksonomi iklim sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu: (1) ekologi; aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK dan sejenisnya (2) milieu: karateristik individu di sekolah pada umumnya, seperti: moral kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya: (3) sistem sosial: struktur formal maupun informal atau berbagai peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partispasi staf dalam pengenbilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan, kolegialitas, hubungan guru-siswa; dan (4) budaya: sistem nilai dan keyakinan, seperti: norma pergaulan siswa, ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah.
Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan, iklim sekolah telah terbukti memberikan pengaruh yang kuat terhadap pencapaian hasil-hasil akademik siswa. Hasil tinjauan ulang yang dilakukan Anderson (1982) terhadap 40 studi tentang iklim sekolah sepanjang tahun 1964 sampai dengan 1980, hampir lebih dari setengahnya menunjukkan bahwa komitmen guru yang tinggi, norma hubungan kelompok sebaya yang positif, kerja sama team, ekspektasi yang tinggi dari guru dan adminstrator, konsistensi dan pengaturan tentang hukuman dan ganjaran, konsensus tentang kurikulum dan pembelajaran, serta kejelasan tujuan dan sasaran telah memberikan sumbangan yang berharga terhadap pencapaian hasil akademik siswa.
Hubungan sosial antara siswa dengan guru yang mutualistik merupakan unsur penting dalam kehidupan sekolah. Guru yang memiliki interes, peduli, adil, demokratis, dan respek terhadap siswanya ternyata telah mampu mengurangi tingkat drop out siswa, tinggal kelas, dan perilaku salah suai di kalangan siswa (Farrell, 1990; Fine, 1989; Wehlage & Rutter, 1986; Bryk & Driscoll, 1988). Studi yang dilakukan oleh Wentzel (1997) mengungkapkan bahwa iklim sekolah memiliki hubungan yang positif dengan motivasi belajar siswa. Sementara itu, studi longitudional yang dilakukan oleh Roeser & Eccles (1998) membuktikan bahwa guru yang bersikap adil dan jujur memiliki dampak ke depannya bagi penguasaan kompetensi akademik dan nilai-nilai (values) akademik. Studi yang dilakukan Stockard dan Mayberry (1992) menyimpulkan bahwa iklim sekolah, yang mencakup : ekspektasi prestasi siswa yang tinggi, lingkungan sekolah yang teratur, moral yang tinggi, perlakuan terhadap siswa yang positif, penyertaan aktivitas siswa yang tinggi dan hubungan sosial yang positif ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil-hasil akademik siswa.
Selain berdampak positif pada pencapaian hasil akademik siswa, iklim sekolah pun memiliki kontribusi positif terhadap pencapaian hasil non akademik, seperti pembentukan konsep diri, keyakinan diri, dan aspirasi (Brookover et al., 1979; McDill & Rigsby, 1973; Mitchell, 1968; Anderson, 1982). Studi yang dilakukan Battistich dan Hom (1997) mengungkapkan bahwa adanya perasaan akan komunitas (sense of community) dapat mengurangi secara signifikan terhadap munculnya perilaku bermasalah seperti, keterlibatan narkoba, kenakalan remaja dan tindak kekerasan. Iklim sekolah yang positif juga dapat menurunkan tingkat depresi (Roeser & Eccles 1998). Studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1983 yang menguji tentang kesehatan perilaku, gaya hidup dan konteks sosial pada kalangan anak muda di 28 negara menunjukkan bahwa keterlibatan peran dalam pengambilan keputusan di sekolah, perasaan memperoleh dukungan dari guru dan siswa lainnya ternyata berkorelasi dengan semakin berkurangnya kebiasaan merokok, tingginya aktivitas fisik, serta tingkat kesehatan dan kualitas hidup yang baik (Currie et al. 2000). Iklim sekolah juga berpengaruh terhadap pembentukan nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Sebagai contoh: hubungan guru-siswa yang saling menghormati, adanya kebebasan untuk menyatakan tidak setuju, mau mendengarkan siswa meski dalam perspektif yang berbeda telah memberikan dampak terhadap tingkat kekritisan siswa tentang berbagai isu yang terkait dengan kewarganegaraan (Newmann, 1990). Selain itu, siswa juga lebih toleran terhadap perbedaan (Ehman, 1980) dan lebih mengenal terhadap berbagai hubungan internasional (Torney-Purta & Lansdale, 1986).

Ciri- Ciri Guru yang Bisa Memotivasi Siswa


Salah satu ciri guru yang bisa memotivasi adalah antusiasme, mereka peduli dan paham dengan apa yang diajarkannya dan mengkomunikasikannya dengan murid bahwa apa yang sedang mereka pelajari itu penting. Ia memberikan teladan yang dapat menjadi inspirasi bagi siswanya.
Ciri-ciri guru yang berkualitas dan bisa memotivasi siswa adalah guru yang melakukan hal-hal sebagai berikut :
  1. Menjadi manajer yang baik yang mampu merencanakan,mengelola, mengorganisasikan serta mengevaluasi kelasnya, murid-murid akan merasa  aman dan nyaman bersamanya
  2. fasilitator yang memperlakukan semua siswa mendapatkan kesempatan untuk belajar dan bertanggungjawab
  3. Memberikan pengaruh arus balik yang bersifat korektif
  4. Memberikan test-tes yang adil, penilaian yang bersifat informative
  5. Membantu murid-murid untuk menyadari bahwa mereka sedang tumbuh dalam persaingan dan keunggulan.
6.       Kriteri profesional guru dalam pembahasan ini adalah standar
idealitas yang seharusnya dimiliki dan melekat pada diri guru sesuai dengan
tuntutan tugas dan tanggung jawab profesinya. Dengan kata lain kriteria
profesional merupakan sejumlah kemampuan atau sikap yang harus dipenuhi
sebagai syarat menjadi guru.
Menurut M. Surya,3 guru yang berkualitas mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas dan keimanan serta
ketaqwaan yang mantap.
b. Mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan
tuntutan lingkungan dan perkembangan IPTEK.
c. Mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain.
d. Memiliki etos kerja yang kuat.
Dalam UU No. 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 28
ayat 2 ditegaskan bahwa criteria orang yang bisa diangkat menjadi tenaga
pendidik dan pengajar adalah yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan UUD 1945, serta
memiliki kualifikasi sebagai tenasa pengajar.Dari kriteria-kriteria profesional yang tercantum dalam undangundang
tentang sistem pendidikan nasional dapat dijabarkan secara lebih
detail ke dalam empat syarat profesional, yaitu : syarat formal yang berkaitan
dengan wewenang dan tanggung jawab untuk mengajar, syarat fisik yang
berkaitan dengan kemampuan dan kelayakan fisik guru, dan syarat
profesional yang berkaitan dengan keahlian teknis operasional.
a. Syarat Formal (kewenangan mengajar)
Seperti apa yang tertera dalam UU No. 2/1982, bahwa untuk
menjadi guru, seseorang harus memiliki kualifikasi yang dimaksud adalah
kualifikasi keahlian dalam melaksanakan tugas mengajar. Untuk itu, UU
No. 2/1989 pasal 28 ayat 3 mendetapkan bahwa pengadaan guru pada
jenjang pendidikan dasar menengah pada dasarnya diselenggarakan
melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.5
Lebih lanjut hal tersebut dijelaskan pada PP No. 38/1992 Bab IV psal 1
dan 5 berbunyi :
Pasal 1 : "Tenaga Pendidik pada pendidikan prasekolah, pendidikan
dasar dan pendidikan menengah wajib memiliki kemampuan
mengajar yang dinyatakan dengan ijazah yang diperoleh dari
lembaga pendidikan tenaga keguruan.
Pasal 5 : "Tenaga pendidikan pada satuan pendidikan tertentu di jalur
pendidikan, wajib memiliki wewenang mengajar di sekolah yang bersangkutan, yang diperoleh dari lembaga pendidikan
dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku6
Jadi untuk menjadi tenaga pendidik, ia harus memeliki ijazah
pendidikan keguruan Strata Satu (S1) atau D3 yang dinyatakan dengan
ijazah. Ijazah disini maksudnya kemampuan mengajar bahan semata-mat
pengalaman atau pengetahuan yang dilakukan secara otodidak, akan
tetapi lebih dari itu yaitu sebagai hasil dari proses pendidikan.
Disamping itu, pernyataan ijazah bukan sekedar memiliki ansich,
akan tetapi melalui ujian-ujian tertentu yang harus dilewati, baik
dari segi pengetahuan teoeritis tentang landasan pendidikan maupun
aktualisasi peraktisnya, minimal praktek pengalamaan lapangan sehingga
ijazah yang diperoleh dari lembaga pendidikan tenaga keguruan tidak
diragukan lagi dan itu meerupakan indikator pertama bagi kemampuan
dan kewenangan guru dalam mengajar.